Produksi kopi Indonesia pada 2013 mencapai 1.209.000 ton dari areal seluas 1,9 juta hektar yang terdiri atas produksi kopi Arabika sebanyak 355.000 ton dari areal seluas 49.000 hektar dan kopi Robusta sebanyak 854.000 ton dari lahan seluas 1,85 juta hektar, adapun 78% dari total produksi tersebut diekspor ke luar negeri (Kemenperin, 2014).
Konsumsi kopi dalam negeri cenderung terus meningkat 8%-12% per tahun, terutama disebabkan trend minum kopi original dan expresso di kafe maupun kedai terus berkembang serta pertumbuhan industri kopi bubuk dan instan sehingga konsumsi kopi di Indonesia melonjak luar biasa. Tingkat konsumsi kopi dalam negeri berdasarkan hasil survei LPEM Universitas Indonesia tahun 1989 hanya sebesar 500 g/ kapita/ tahun, tetapi saat ini telah mencapai 900 g/ kapita/ tahun (Ditjen PPHP, 2013; Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia, 2013).
Atmawinata (2002) menyatakan bahwa pada umumnya kopi dikonsumsi bukan karena nilai gizinya, melainkan karena nilai citarasa dan pengaruh fisiologisnya yang dapat menyebabkan orang tetap terjaga, menambah kesegaran, mengurangi kelelahan, dan membuat perasaan lebih bersemangat. Oleh karena itu, nilai biji kopi tidak hanya ditentukan oleh penampilannya secara fisik, tetapi lebih ditentukan oleh nilai citarasanya sehingga di negara-negara pengimpor kopi salah satu cara penentuan mutu kopi adalah dengan uji citarasa (Saepudin, 2005).
Kopi merupakan produk pertanian yang mengandalkan aspek kualitas citarasa, maka produk biji yang bercitarasa tinggi ditentukan sejak tahap budidaya. Citarasa kopi sangat dipengaruhi oleh varietas, agroekologi, waktu panen, metode pemetikan, metode pengolahan dan metode penyimpanan (Siswoputranto, 1993) sehingga dalam hal pascapanen, citarasa kopi sangat dipengaruhi oleh cara pengolahannya, yaitu proses fermentasi dan penyangraian (Avallone , 2002; Jackels dan Jackels).
Maka kopi yang memenuhi standar tersebut adalah kopi desa. Lho kok bisa? Seperti kata Pepeng, seorang aktivis kopi “ Indonesia adalah surganya kopi, tapi sayangnya, hampir sebagian besar kopi yang beredar di masyarakat adalah ‘bad coffee’. Kopi eceran itu, kopi murninya paling hanya berapa %, sisanya gula, perisa, dan macam-macam bahan lain. Itupun biji kopi yang digunakan biji kualitas buruk.”
Kita dulu mengenal istilah kopi desa, kopi yang ditanam di ladang dan hutan pinggiran desa, hampir di seluruh pelosok Indonesia. Kopi desa diolah dan diracik sesuai dengan karakter desa masing-masing, menggunakan campuran ramuan khas desa, ada kayu manis, cengkih, kapolaga, kayumanis, bahkan ganja. Dan tentu saja bahan bakunya 100% biji kopi asli. Maka setiap pergi ke desa yang kita akan menemukan kopi dengan ciri khas lokal. Pertanyaannya bagaimana ciri khas kopi desa tersebut bisa dikelola menjadi usaha bisnis kopi yang bisa memberikan nilai tambah bagi masyarakat desa, tanpa terjebak dalam pola dagang yang tidak seimbang ?
Kuncinya adalah, pertama petani kopi di desa bisa melakukan praktek manajemen mutu budidaya kopi dan pasca panen yang baik sesuai dengan praktek pertanian lestari. Kedua adanya lembaga/organisasi yang mengelola dan memastikan manajemen mutu di atas dilakukan dengan baik. Hal ini bukan saja akan memberikan nilai tambah pada nilai produk, tapi juga bisa menjaga keberlanjutan sosial, ekonomi, lingkungan dan sumberdaya alam.
Beberapa praktek yang dikenal adalah pertanian lestari (Good Agriculture Practice) yang menjadi praktek produksi kopi berkelanjutan. Beberapa prinsip yang bisa dipraktekan adalah sebagai berikut :
- Pengelolaan hama terpadu, dengan menghindari penggunaan bahan kimia yang masuk negative list Kementerian Pertanian, bahkan dianjurkan melakukan inovasi menggunakan pestisida alami, baik untuk pengendalian penyakit maupun hama.
- Keselamatan dan keamanan kebun, mempraktekan keselamatan petani maupun pekerja kebun dari bahan berbahaya beracun maupun berbau. Mementingkan kebersihan dan kesehatan lingkungan kebun. Menyimpan bahan berbahaya dengan aman agar tidak mencemari air, tanah, udara dan makhluk hidup.
- Pengelolaan sampah dan limbah, pengelolaan yang tidak tepat akan berpengaruh terhadap lingkungan kebun, dan tanaman yang sedang dibudidayakan. Dengan praktek pemilahan sampah organik untuk dimanfaatkan sebagai kompos, dan an-organik untuk dipindahkan dan dimusnahkan, akan memberi nilai tambah terhadap kesehatan lingkungan kebun.
- Perlindungan ekosistem, melalui praktek perlindungan sumber air, perlindungan tanah, mencegah erosi, tidak menebang pohon yang dilindungi, menanam pohon pelindung, tidak berburu dan membunuh hewan asli di seputar kebun, menciptakan zona untuk habitat hewan.
- Kesejahteraan keluarga petani dan pekerja, adalah upaya untuk menciptakan kondisi yang baik dan sehat. Apakah tersedia hunian yang layak (aman dan sehat) bagi pekerja, apakah pekerja telah diupah sesuai dengan standar upah minimal, tidak mempekerjakan anak di bawah umur, adanya jaminan kesehatan, dan pendidikan bagi anak-anak petani.
- Manajemen usahatani, adalah mencatat semua yang dilakukan di atas (poin 1 sampai 5), mengevaluasi kegiatan, dan menemukan cara untuk memperbaiki. Meliputi aplikasi bahan kimia, pemupukan, pemangkasan, panen, dan penyimpanan dengan rinci meliputi jumlah, sumber, dan waktunya.
Lalu apa selanjutnya setelah hal di atas dilakukan? Maka syarat kedua adalah adanya lembaga manajemen mutu yang memastikan praktek tersebut telah dilakukan dengan benar. Dalam skema penjaminan mutu ada yang disebut pengawasan internal (Internal Control System) yang dibentuk oleh petani/kelompok tani.
Bila di satu desa ada 5 kelompok tani, maka tiap kelompok mempunyai manajemen pengawasan dan audit terhadap setiap praktek budidaya kelompoknya. Sekarang bayangkan bila kelompok tani tersebut tergabung dalam BUMDesa, maka BUMDesa akan menjadi lembaga penjamin mutu kopi desa lestari. BUMDesa sekaligus bisa menjualnya dengan harga premium, bisa mengolahnya dari biji gabah menjadi biji beras (green bean). BUMDesa bisa mengajukan IG (Indikasi Geografis) sesuai dengan letak geografis perkebunan kopinya. Kelak akan ada nama Kopi Specialty Arabica Coffee Sumberhurip atau Kopi Java Robusta Cikoneng. Semoga.
‘Life is too short to drink bad coffee’.
Sumber : http://www.berdesa.com
0 comments:
Post a Comment